Senin, 28 Oktober 2013

SELAMANYA AKAN TETAP ILUSI


SELAMANYA AKAN TETAP ILUSI



HIDUP DALAM ILUSI ITU MENYENANGKAN”

Aku adalah satu dari beribu orang didunia ini yang amat setuju dengan pemikiran tersebut. Aku selalu menerapkan ilusiku terlebih dulu mengenai seseorang ataupun sesuatu yang ada disekitarku.  Ilusi itu selalu indah. Ilusi itu berwarna. Dan, ilusi itu selamanya akan tetap menjadi ilusi. Mengharapkan sesuatu bisa seperti yang dibayangkan adalah mustahil. Dalam dunia nyata sangat tidak mungkin mengharapkan semua ilusimu menjadi nyata. Karena sesungguhnya, dia yang ada di ilusimu tak sama dengan dia yang sebenarnya. 



Itu pun yang aku rasakan kini. Semua ilusiku tentangnya tak ada satupun yang menjadi nyata. Sampai akhirnya waktu yang menunjukkan bahwa ilusiku tersebut harus terkubur secara perlahan. Harapanku tetap mengambang di kayangan, tak kunjung bereformasi menjadi kisah manis seperti yang aku inginkan.

Pernahkah kamu mencintai seperti yang aku alami?

Kali ini bukan hanya sebuah ilusi. Rasa ini nyata. Mencintai dalam sakit. Mengubah diri demi orang yang bahkan tak memalingkan wajahnya sedikitpun padamu. Hatiku seakan berdarah tapi aku tetap mencintainya. Karena cinta ini terlahir dari hati bukan sekadar ilusi. Aku mencintainya dan akan selalu mencintainya hingga kelelahan dengan sendirinya menyapa, tapi aku akan tetap bertahan dengan rasaku.


Dia adalah ilusi dalam hidupku. Namun rasa cintaku untuknya bukanlah ilusi.






Undangan acara perpisahan kelas 12 kini ada ditanganku. Aku melihatnya sendu. Kertas ini seakan menjadi sesuatu yang sangat menyedihkan, bahkan aku seakan tak sanggup membaca detail tulisan didalamnya. Membaca perpisahan seakan langsung meruntuhkan pertahananku. Aku yang selama ini mencoba menyusun pertahananku sendiri dengan penuh perjuangan tak dapat berbuat apa-apa lagi. Perpisahan meruntuhkan pertahanan itu. ‘Tuhan, aku tahu perpisahan itu cepat atau lambat tetap akan aku jalani. Namun mengapa secepat ini Tuhan? Aku belum siap. Aku masih ingin mengembangkan ilusi ku tiap aku bertemu dia. Aku masih membutuhkan dia sebagai penyemangatku di sekolah. Aku belum sempat menyatakan rasa ku ini padanya. Tuhan, bolehkah hanya ada pertemuan tanpa ada perpisahan?’ tanpa komando cairan bening mengalir dipelupuk mataku.



Keesokan harinya, aku menguatkan hatiku untuk datang ke acara special perpisahan kelas 12 disekolah. Aku tidak ingin menjadi manusia paling menyesal karena dihari terakhir ia menjadi kakak kelasku malah aku tak bisa melihatnya. Kembali, ilusiku pun menemani ku sepanjang perjalanan menuju sekolah. Mungkin saat nanti diacara tersebut diadakan acara ‘KATAKAN SEKARANG ATAU TIDAK SELAMANYA’ aku akan maju dan mengatakan seluruh isi hatiku. Tapi apa jadinya aku? Pasti akan menjadi bahan tertawaan banyak orang. Atau aku akan memanggilnya pelan-pelan lalu mengajaknya bicara empat mata di belakang sekolah, lalu menyatakan seluruh kekagumanku padanya. Tapi apakah aku memiliki seluruh keberanian itu? Untuk mengucapkan selamat secara langsung atas kelulusannya pun aku tak sanggup. Ah, entahlah apa yang akan ku lakukan nanti. Aku pun langsung menghampiri lapangan yang digunakan untuk acara. Mata ku menjalar seperti biasa. Mencari sosok yang selama setahun ini telah mencuri perhatianku. Kemana dia? Masa dia tak hadir diacara special ini? Aku terus mencari keberadaan dia. Apa karena lapangan ini terlalu ramai sehingga aku tak dapat menemukan keberadaannya. Namun, biasanya aku bisa dengan mudah menemukan dia saat apapun dan dimanapun. ‘Tuhan, dimana dia? Aku tidak ingin kehadiranku kesini sia-sia.’

Saat aku mulai menunduk dan berjalan menjauhi keramaian. Suara yang sudah sangat ku kenal jelas itu mengagetkanku. 

“Hallo semuaa. Gua dari XII Ipa 4. Dihari paling special ini gua mau bilang terimakasih buat semuanya. Guru-guru, teman-teman, adik-adik kelas, yang telah mengisi hari-hari gua selama 3 tahun ini” 

Aku langsung berlari kembali mendekati keramaian tadi. Ternyata dia berada di stage, sepertinya ia ingin menampilkan sesuatu. Dia kan memang memiliki suara bagus, pandai bermain gitar jadi sepertinya dia akan menampilkan sesuatu hari ini.

Oya,tadi dia mengatakan ‘adik-adik kelas’ ? apa yang ia maksud adalah aku? Kembali ilusiku bekerja. Mengharapkan yang dia maksud adalah aku. Dan andai saja ternyata dia telah mengetahui perasaanku ini namun ia menunggu waktu yang tepat untuk membalas rasa ini. Aaahh lagi dan lagi, ilusiku melambung terlampau tinggi. Aku pun mencoba memfokuskan perhatianku kepada laki-laki berkalung gitar di atas stage yang selama ini menjadi penyebab senyumku setiap harinya. Ia menyanyikan sebuah lagu dari band UNGU yang berjudul “TERCIPTA UNTUKKU” . Lagu yang sebenarnya tidak cocok sebagai lagu perpisahan. Saat aku mendengar ia mulai mengalunkan lagu tersebut, mataku berkaca-kaca. Aku pernah memintanya menyanyikan lagu itu, meski saat itu aku hanya bercanda. Apa dia ingat aku? Ada dua kemungkinan mengapa ia memilih lagu tersebut. kemungkinan pertama, ia mengingatku dan menyanyikan lagu itu special untukku. Haha lagi-lagi ilusi. Kemungkinan kedua, ia mengungkapkan curahan hatinya yang mana ia sempat memendam rasa suka pada salah satu anak kelas 11. Ya aku tau itu, lalu mengapa? Aku tidak memiliki hak sedikitpun untuk cemburu akan hal itu. Aku hanyalah pengagumnya. Lebih parahnya pengagum rahasia. Lalu apa yang aku harapkan? Aku hanya perlu terus dan terus sadar bahwa aku hanyalah pengagum rahasianya dia, tak lebih. Tapi sepertinya kemungkinan kedua lah yang lebih tepat. Apalah arti aku dimatanya, menunjukkan perasaanku pun tak pernah. Dekat dan berarti untuk diapun kurasa tidak. Bahkan aku tak yakin dia masih mengenalku.

Air mataku pun tak dapat lagi ku bendung. Untuk pertama kalinya aku menangis karenanya di depan keramaian. Aku langsung melarikan diri ke toilet sekolah sebelum dibilang lebay oleh siswa lain.

“Bodoh! Kenapa gua ga bisa nahan emosi sih.”  Gerutuku setelah sampai ditoilet.

“Atishaaaaaa tadi lo tuh lagi didepan umum, kalau sampe ada yang liat lo nangis pasti mereka ngira yang aneh-aneh. Dan lebih bahaya lagi kalau ada menebak perasaanmu pada kakak itu” ungkap ku lirih. Mencoba menasihati diri sendiri. Tapi apa daya seakan diri ku sendiri pun menolak dinasihati. Airmata ini semakin deras membasahi pipiku.


Tuhan, apa aku salah mencintainya? Apa rasa ini terlalu berdosa sehingga aku seakan takut engkau melaknatku jika aku mengungkapkannya.

Setelah emosiku terasa mereda aku memutuskan keluar dari toilet. Aku memastikan di cermin bahwa mataku tak terlihat seperti usai menangis. Aku jalan sedikit lesu. Saat menangis seakan seluruh tenagaku terkuras hingga sekarang aku terlalu lelah untuk berjalan. Aku berjalan dengan sedikit menunduk. Aku memutuskan untuk tidak mencari keberadaan dia lagi. Cukup aku bisa melihat wajahnya saat dia di stage tadi sebagai pertemuan terakhirku. Juga mungkin sebagai hari terakhir rasa ku padanya ini ada.


Namun tiba-tiba, ada seseorang yang menyapaku. Aku kenal suara itu. Dia menyebut namaku, itu artinya ia masih mengingatku. Aku hanya membalasnya dengan senyuman. Rasanya lidah ini seakan kelu. Setelah ia berlalu, aku langsung mengutuk diriku sendiri. Kenapa tadi tak memberanikandiri saja sih. Itu kesempatan langka, bahkan setelah ini mungkin aku takkan merasakan hal seperti ini. Berpapasan dengan dia ditangga ini, ia menyapaku dengan menyebut nama depanku. ‘Atisha’. Tak akan ada lagi perasaan bahagia saat tak sengaja melihat senyumnya. Tak ada lagi sosok yang selalu aku cari. 
Lagi-lagi aku mencoba menguatkan diriku sendiri. Melangkah pergi meninggalkan sekolah karena aku tak mungkin berlama-lama disana, soalnya pertahananku telah roboh jadi bahaya kalau kerapuhan pertahananku diketahui oranglain. Maka dari itu aku memilih pulang. Melanjutkan semua ilusi ku tentangmu. Karena hanya itu yang masih akan bertahan. Ilusi, selamanya akan tetap menjadi ilusi. Kamu akan tetap terlihat indah dan akan selalu membahagiakan ku, dalam ilusiku.





Tuhan, hari ini aku berjanji.
Aku akan melepasnya dari pandanganku yang selalu mengikatnya
Hari ini aku berjanji, untuk tak lagi menyebut namanya
Untuk tak lagi mencari keberadaannya
Karena esok dia akan benar-benar luput dari pandanganku
Senyumnya tak akan dapat lagi aku temui
Semua kenangan yang sebenarnya hanya aku yang merasakan
Akan segera kuhentikan
Aku tak akan membiarkannya terus hadir dibenakku
Sedangkan aku tak dapat lagi melihatnya
Serta kebahagiaan yang lagi-lagi hanya aku yang merasakan
Akan segera sirna seiring kepergiannya
Mungkin ini memang bukanlah akhir
Tapi ini adalah awal,
Awal terbentangnya jarak antara kita
Awal dia tak dapat lagi kulihat
Awal aku mencoba melupakan nya
Serta awal aku tak dapat lagi memandangnya
Jika selama ini tak ada jarak namun aku masih tak bisa menyentuhnya
Maka saat jarak itu mulai terbentang
Aku semakin tak bisa menyentuhnya
Bahkan hanya untuk menyentuhnya dalam tatapan



Dan pada akhirnya akupun tersadar
Bahwa kamu yang dalam ilusiku bagaikan sungai
Yang mengalirkan kebahagiaan untukku
Nyatanya kamu hanyalah angin
Yang datang dan berlalu
Hanya memberikan kesejukan tanpa mau berlama-lama menetap.









Dwi ys 
@dwiyuliant_

Minggu, 13 Oktober 2013

Dunia, ini janjiku


“Setiap manusia di muka bumi ini tidak akan pernah bisa mengatur akan seperti apa kehidupannya. Namun setiap manusia dimuka bumi ini dapat menentukan akan menjadi apa mereka dalam kehidupannya. Lalu pada akhirnya waktulah yang akan menjawab semuanya.”


Seperti aku, saat aku terlahir aku tak pernah tahu bagaimana kehidupanku kelak di muka bumi. Aku tidak tahu akan seperti apa perlakuan orang-orang disekitarku padaku. Aku tidak pernah tahu masalah apa yang akan muncul dikehidupanku kelak. Bahkan hingga saat ini, aku tidak pernah tahu akan seperti apa ending dari cerita hidupku nanti. Karena semuanya hanya Tuhan yang tahu, dan hanya waktulah yang akan menjawab semuanya.
Tapi aku akan tetap berusaha meminimalisir sesuatu yang buruk dalam hidupku. Aku akan tetap berusaha menjadikan cerita hidupku menjadi happy ending nantinya, meskipun pada akhirnya tetap waktu yang akan menjawab semuanya. Aku akan menentukan sendiri akan menjadi apa aku dalam kehidupanku. Aku tidak ingin menjadi sebatas objek yang hanya rela menjadi penderita. Aku ingin menjadi subjek yang dapat melakukan kehidupanku sendiri, dan pada suatu saat aku akan merubah hidupku sendiri dan suatu saat aku yang akan memainkan penderitaan ku sebagai objek, akan aku mainkan penderitaan itu lalu aku buang jauh hingga tak ada lagi penderitaan itu dalam hidupku.

Masalah ini mungkin terlihat besar dan menyeramkan dimata oranglain. Sebenarnya begitu juga denganku. Aku sangat takut jika kelak aku tak bisa melawan masalah ini. Namun, aku sudah bertekad untuk menjadikan masalah ini sebagai objek kehidupan ku dan aku akan menghilangkan objek tersebut dari hidupku dan menggantinya dengan objek yang lain yaitu kebahagiaan.

Aku mungkin tak bisa melawan kuasa Tuhan. Aku pun tak bisa menghindar dari kenyataan. Karena ini hidup, mau tidak mau, suka tidak suka, hidup harus tetap dijalani. Hidup ini bukan mimpi yang saat kita merasa tak suka dengan mimpi itu kita bisa memilih bangun lalu mimpi tersebut hilang dengan sendirinya. Ini hidup! HIDUP ITU UNTUK KITA JALANI BUKAN UNTUK DIHINDARI.

Mulai saat ini aku akan berjanji pada diriku sendiri juga pada dunia. Aku akan berusaha merubah semuanya menjadi kebahagiaan yang abadi. Aku berjanji akan menjadi kebanggaan untuk mereka juga aku berjanji akan menjadi pencerah dalam kegelapan yang luarbiasa menakutkan ini. Aku akan mengejar semua citaku setinggi-tingginya. Aku akan menjaga kepercayaan mereka semampuku. Lalu aku akan membuktikan pada mereka serta pada Dunia bahwa aku ada untuk menjemput kebahagiaan untuk mereka. Dan untuk menjadi penghubung dan penerang bagi kegelapan dan keterbatasan diantara mereka.





   dwi ys
10132013